Minggu, 24 April 2011

STUDI KASUS SOSIOLOGI

Tugas sosiologi
Thema yang dipilih : Konflik Sosial

Kelompok IX
V.A.Indra & Wuwun.W
TEROR BOM,  KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA

Teror bom yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2000 tidak dapat dipungkiri lagi merupakan bentuk konflik sosial yang ada di Indonesia sekaligus merupakan  proklamasi dari keberadaan Islam Radikal di Indonesia, untuk menunjukkan eksistensinya serta untuk melakukan show of force mereka dengan sengaja menebar teror bom di berbagai wilayah di tanah air, berikut adalah kronologis serangan teror bom yang telah terjadi di Indonesia
1.      01 Agustus 2000,Bom meledak di depan kediaman Duta Besar Filipina di Jakarta, dalam peristiwa ini 2 orang terbunuh.
2.      13 September 2000,Ledakan di gedung Pasar Bursa Jakarta. 15 orang meninggal, puluhan cedera.
3.      24 Desember 2000,Rangkaian serangan di gereja-gereja Jakarta dan kota-kota lain. 17 orang tewas, lebih dari 100 orang luka-luka.
4.      12 Oktober 2002,Dikenal sebagai Bom Bali, aksi itu menyerang sebuah klub di Kuta, Bali. 202 Orang tewas, kebanyakan turis asing. 88 orang diantaranya warga Australia. Ratusan orang terluka.
5.      05 Desember 2002,Ledakan bom di rumah makan McDonald di Makassar, Sulawesi. 3 Orang tewas.
6.      05 Agustus 2003, Serangan bom pertama terhadap hotel JW Marriott di Jakarta. 12 korban tewas, termasuk seorang warga Belanda. Lebih dari 150 orang terluka.
7.      10 Januari 2004, Bom meledak di lokasi karaoke, Kafe Sampodo di Palopo, Sulawesi. 4 orang tewas.
8.      09 September 2004, Bom mobil berkekuatan 1 ton meledak di depan Kedutaan Australia, Jakarta. 10 warga Indonesia tewas, lebih dari seratus orang cedera.
9.      13 November 2004, Ledakan di dekat kantor polisi Kendari, Sulawesi, 5 orang tewas, 4 orang terluka.
10.  28 Mei 2005, Bom di pasar Tentena, Sulawesi, 22 orang tewas, 90 cedera
11.  31 Desember 2005, Bom meledak di sebuah pasar Palu, Sulawesi. 8 orang tewas, sedikitnya 48 orang terluka.
12.  01 Oktober 2005, dikenal sebagai Bom Bali II,Serangan bom bunuh diri di dua lokasi Jimbaran dan Kuta, Bali. 20 orang tewas, 129 orang lainnya luka-luka
13.  17 Juli 2009, Hotel JW Marriott kembali menjadi target serangan bom beruntun, berikut dengan ledakan bom di hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Sampai kini diketahui, delapan orang meninggal dan 42 orang cedera.
14.  15 Maret 2011, Serangan Bom Buku yang melukai seorang Kasat  Reskrim Kompol Dodi Rahmawan yang berusaha menjinakkan bom dengan arahan rekannya lewat ponsel, tangan kirinya putus.
15.  15 April 2011, Serangan Bom bunuh diri di masjid At-Tatwa di lingkungan Polresta Bogor .salah satu korban tewas adalah pelakunya sendiri M. Syarif
16.  21 April 2011, Serangan Bom yang dikenal sebagai bom gorong-gorong dekat gereja Christ Metodis yang rencananya akan diledakkan pada pukul 09.00 wib saat umat kristiani sedang merayakan hari raya Jumat Agung, namun bom ini tidak sempat meledak karena Densus Antiteror 88 telah berhasil mengendus keberadaannya dan telah berhasil menjinakkannya.

Jika melihat kronologis yang ada serta pola yang dilakukan kita bisa melakukan analisa serta pendekatan sosiologis terhadap kasus teror bom ini, mengapa hal ini bisa terjadi dan apa penyebabnya?
Pertama, telah terjadi pergeseran atau dinamika sosial dalam masyarakat Indonesia yang  terjadi begitu cepat sebagai akibat dari adanya perubahan ke arah demokrasi yang boleh dikatakan ‘kebablasan’ atau lepas kendali setelah lengsernya kekuasaan orde baru pada tahun 1998, kelompok-kelompok Islam radikal yang selama ini merasa terkungkung geraknya atau dibatasi gerakannya oleh rezim orde baru mulai leluasa melancarkan aksinya dan mulai melakukan aksi ‘brainwash’ kepada para pengikutnya/simpatisannya. Selama ini mereka merasa bahwa umat islam di Indonesia telah di zholimi oleh penguasa dalam hal ini pemerintah rezim orde baru yang masih menurut mereka telah bekerja sama dengan CIA, Amerika dan sekutu-sekutunya untuk memusuhi umat islam dan berusaha menghancurkan Islam dari bumi Indonesia, Amerika dan sekutunya  merupakan musuh utama  Islam yaitu orang orang yang menurut pandangan mereka adalah para kafirun yang berusaha menghancurkan Islam, itulah sebabnya mereka layak dibunuh, kedudukan pemerintah yang bekerjasama dengan pihak asing dalam bidang ekonomi, perdagangan dan militer dihadapan mereka sama kafirnya dengan Amerika dan sekutu-sekutunya mereka disamakan  dengan anjing yang layak untuk dibunuh ( pandangan Imam samudra dalam bukunya yang berjudul ‘Jihad’ ) dan untuk menegakkan pemerintahan yang di ridhoi Allah SWT itulah mereka berusaha menegakkan syariat islam dan berniat mendirikan Negara Islam Indonesia melalui organisasi yang mereka namakan Jemaah Islamiyah, cara paling cepat untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan ‘Jihad’ melalui terror bom tadi. Karena dalam pemikiran mereka jika ideologi yang mereka anut telah meresap dalam diri setiap warga masyarakat dan kekuasaan telah berada di tangan mereka melalui upaya paksa penggulingan kekuasaan yang sah, yang salah satunya dalam bentuk teror bom dan hasutan bahwa pemerintah merupakan kaki tangan asing ( Amerika dan sekutu-sekutunya ) maka mereka berharap bahwa akan timbul krisis kepercayaaan terhadap pemerintah yang akan mempercepat proses peralihan  kekuasaan dari tangan pemerintah yang sah kepada kelompok teroris yang bercita-cita mendirikan Negara Islam tersebut di Indonesia.  dalam kajian sosiologi apa yang terjadi pada fase ini merupakan perubahan sosial yang bersifat disosiatif yang lebih menjurus ke arah konflik horizontal dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Berdasarkan pandangan atau teori yang dikemukankan oleh  Lewis Coser penulis buku “The Fungitions of Social Conflict (1956) “ yang teori  konsep konflik sosialnya  banyak dipengaruhi oleh pandangan George Simmel ini, kita bisa menggaris bawahi bahwa dalam kasus teror bom di Indonesia  yang kental dengan muatan SARA ini pada akhirnya akan menimbulkan kerancuan sosial dalam masyarakat, sebab konflik ini didorong oleh kepentingan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis.
Kedua, tidak ada kepercayaan ( trust ) kepada pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan yang sah sekalipun sebetulnya kalau kita mau jeli selama ini umat Islam telah mendapatkan porsi perhatian yang lebih dari pemerintah sebagai kelompok mayoritas, coba saja kita lihat, sejak NKRI berdiri ( 1945 ) Departemen Agama lebih banyak di dominasi oleh kelompok muslim,mulai dari mentri agama yang selalu dijabat oleh pihak muslim, sampai pegawai di departemen agama yang didominasi oleh kelompok muslim dan bantuan pembangunan rumah ibadah juga yang lebih banyak diterima oleh pihak Muslim dibanding umat beragama lainnya, inipun tampaknya tetap dipandang sebelah mata oleh pihak Islam radikal, sehingga mereka tetap melakukan upaya –upaya yang ditinjau dari sisi sosiologis menurut pandangan John Lewis Gillin dan John Philip Gillin serta Kimball Young adalah merupakan tindakan Contravention, semacam persaingan ( Competition ) yang lebih mengarah ke  pertikaian ( conflict horizontal )  hal ini dapat kita lihat dari sikap penolakan/perlawanan yang mereka lakukan, lihat saja sikap Imam Samudra dan Amrozy selama berada dalam tahanan, kita tentu masih ingat bagaimana mereka tidak bisa menghargai aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa hakim bahkan pemerintah yang sah pun mereka hujat, fitnah dan cerca dengan berbagai hasutan yang mendiskreditkan posisi pemerintah, sekalipun yang berinteraksi dengan mereka adalah petugas yang notabene muslim tetap dimata mereka petugas itu orang kafir, hanya karena tidak sepaham/sependapat dengan mereka
Ketiga, adanya pergeseran target/objek pengemboman yang semula ditujukan pada kepentingan Amerika dan sekutunya atau  Gereja kini beralih kepada individu spt Ulil Asyhar dan Musisi Ahmad Dani ( dalam kasus Bom Buku ) serta Masjid di lingkungan Polresta dalam hal ini yang disasar adalah Institusi POLRI dan umat Islam yang sedang menunaikan Sholat di masjid itu, ini merupakan strategi baru yang mereka lakukan untuk menutupi atau lebih tepatnya merupakan kamuflase dan fitnahan yang sengaja mereka lakukan agar opini masyarakat  terbentuk bahwa serangan bom ini dilakukan oleh kelompok lain yang ingin menghancurkan Islam yaitu Amerika dan sekutunya, itulah sebabnya yang dipilih adalah Bom bunuh diri di Masjid.
Ke empat, teroris yang akhirnya tidak menampilkan diri sebagai organisasi islam atau Jemaah islamiyah sebetulnya jika menganut pendapat Soerjono Soekanto, pakar Sosiologi Indonesia, merupakan kelompok sosial ( Social Group ) yang bersifat eklusif semacam in-Group yang bersatu dan menjalin relasi atau hubungan atas dasar persamaan tujuan, kepentingan yang sama serta ideologi yang sama, dan kelompok ini tidak mudah untuk disusupi oleh kelompok dari luar , sebab anggota diseleksi melalui pilihan atau sistem rekrutment yang disaring secara ketat, untuk mendapatkan kader yang militant dan juga siap sedia berkorban jika sewaktu-waktu diperlukan untuk jadi ‘pengantin’ yaitu istilah yang mereka gunakan untuk menyebut orang yang siap untuk melakukan bom bunuh diri.
Ke lima,menurut klasifikasi Lembaga Kemasyarakatan yang disusun oleh Soerjono Soekanto, kelompok teroris ini masuk kedalam Unsanctioned insititution yaitu lembaga kemasyarakatan yang ditolak keberadaannya oleh masyarakat diantaranya adalah kelompok/genk penjahat,kelompok pemeras ( preman ) serta kelompok Teroris.
Ke enam, kehadiran kelompok teroris ini telah membawa dampak perubahan sosial di Indonesia, karena menurut Mac Iver perubahan sosial adalah perubahan perubahan yang terjadi pada hubungan hubungan sosial ( social relationship ) yang merubah keseimbangan ( equilibrium ) masyarakat, bagaimana tidak, masyarakat Indonesia yang tadinya sudah biasa hidup dalam suasana damai dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berbagai  perbedaan ideologi dan budaya sesuai sukunya, secara pelan  dan pasti mulai terkotak-kotak dan memasang jarak antara satu dengan yang lainnya, sebagai akibat munculnya kelompok teroris yang mengatas namakan agama tertentu dan mengusung simbol-simbol agama tertentu. Dari kelompok Muslim sangat keberatan sekali jika teroris ini dikait-kaitkan dengan Islam, hal  ini dapat kita pahami, kita lihat dan dengar dalam forum-forum dialog yang tampil di televisi maupun surat kabar, tapi ironisnya MUI dan ormas-ormas Islam lainya tidak pernah atau belum kelihatan upayanya yang serius untuk mengutuk atau mencegah dan melarang kelompok teroris ini  menggunakan label atau simbol simbol Islam, bahkan pengacara mereka yang menamakan dirinya TPM ( Tim  pembela Muslim ) juga tetap dibiarkan menggunakan nama tersebut, bahkan ketika masyarakat muslim sendiri memperlakukan para pelaku teror bom sebagai pahlawan pada saat pemakaman mereka layaknya seorang pejuang/pahlawan , MUI dan ormas-ormas Islam juga tidak mencegah hal ini. Nah sikap MUI dan ormas-ormas Islam yang tidak tegas dan ambigu inilah yang membuat masyarakat di Indonesia sulit untuk menghilangkan persepsi masyarakat umum bahwa teror bom identik dengan Islam atau paling tidak ada kaitannya dengan Islam. Karena itu sangat wajar kalau sesungguhnya telah terjadi keretakan antar golongan umat beragama di Indonesia yang saat ini masih ditutup-tutupi, suatu saat nanti jika keadaan ini dibiarkan saja terjadi, maka benih benih perpecahan ini akan mencuat ke permukaaan berupa konflik horizontal. Kita sadar bahwa teror bom atau teroris bukan Islam atau representative dari umat Islam tapi perlu di ingat , setiap sikap yang tidak tegas dan terkesan mendua dari MUI dan ormas-ormas Islam akan menjadi pemicu munculnya pendapat bahwa teror bom dan teroris identik dengan Islam jika hal ini tetap dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah memang ditempatkan pada posisi yang sulit oleh para teroris,oleh karena stigmaisasi yang telah dilakukan terhadap pemerintah sebagai antek Amerika termasuk didalamnya adalah Densus 88 yang dituntut untuk dibubarkan oleh kelompok teroris ini, jadi hanya MUI dan ormas-ormas Islam itu sendirilah yang mempunyai kontrol sosial untuk mencegah/melarang penggunaan simbol-simbol Islam dalam setiap gerakan terorisme di Indonesia.
Ke tujuh, kelompok teroris telah melakukan Evolusi di Indonesia, ini bila ditinjau dari sisi perubahan sosial yang mereka lakukan sesuai dengan bentuk perubahan sosial yang didefinisikan oleh Soerjono Soekanto dalam teorinya terdiri dari 4 macam bentuk perubahan sosial yang ada yaitu, perubahan secara lambat ( evolusi ) dan perubahan secara cepat  ( revolusi ), perubahan kecil dan perubahan besar, perubahan yang dikehendaki ( intended-change ) atau direncanakan (planned change ) dan yang terakhir adalah perubahan yang tidak dikehendaki ( unintended-change ) atau tidak direncanakan ( unplanned –change ). Teori ini cukup beralasan untuk dikemukakan mengingat untuk saat ini masih sulit bagi kelompok teoris ini untuk melakukan sebuah revolusi karena paham NKRI dengan pancasila dan UUD 45 masih mendapat tempat dihati masyarakat Indonesia, oleh karena itu setiap upaya-upaya yang berusaha untuk melakukan amandemen terhadap UUD 45 perlu kita waspadai dan cermati bersama, bahwa bukan tidak mungkin dibalik semua upaya itu ada niatan niatan terselubung untuk mengganti ideologi Negara dengan ideologi lain yang tidak sesuai dan teruji seperti ideologi Pancasila yang sudah terbukti mampu menjaga keutuhan NKRI selama 60 tahun ini. Kita bukan pendukung status quo, kita setuju ada reformasi namun lebih di titik beratkan pada pengelolaan Negara dan sumber daya yang ada didalamnya bukan melalui cara amandemen terhadap UUD 45 yang sudah solid.
Ke delapan,  teror bom di Indonesia disebabkan adanya  berbagai kepentingan masyarakat Indonesia, mungkin saja apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya ‘Old societies and new state’ lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. dalam buku tersebut Clifford berpendapat bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi dalam sub-sistem yang berbeda,masing-masing  di ikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Adanya berbagai ikatan dalam sub sistem masyarakat itulah yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Segmentasi dalam masyarakat itu masing masing didasari oleh kepentingannya sendiri, tidak dapat diarahkan pada kehendak bersama sebagai satu bentuk kesatuan masyarakat yang majemuk, sehingga ini memicu munculnya gejala disintegrasi bangsa. Ikatan-ikatan tertentu itu juga yang seringkali menjadi pemicu dan penggerak dari munculnya berbagai tuntutan kepentingan yang sangat sulit untuk dipersatukan, dalam kasus teror bom di Indonesia Pirmordial agama yang begitu kuat itulah yang menjadi penyebab munculnya tindakan terorisme di Indonesia.
Pada dasarnya sifat-sifar dasar dari sebuah masyarakat yang heterogen menurut Pierre L.Van Den Berghe dalam tulisan bukunya yang berjudul “ Pluralism And The Politic’: A Theoritical Exploration “ terbagai kedalam 6 sifat dasar yaitu :
1.      Adanya segmentasi kedalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki sub kebudayaan yang berbeda.
2.      Struktur sosial dalam masyarakat terbagi-bagi kedalam lembaga-lemaga yang bersifat non komplementer.
3.      Tidak berkembangnya konsensus diantara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.      Terjadi konflik antar kelompok masyarakat.
5.       integrasi yang tumbuh dalam masyarakat bersifat paksaan dan lebih disebabkan oleh ketergantungan ekonomi
6.      Adanya dominasi politik oleh satu kelompok tertentu.
Ke enam sifat dasar dalam masyarakat majemuk itulah yang menurut kami telah menjadi penyebab munculnya konflik dalam masyarakat kita yang majemuk ini. Penyebab lain yang dapat menyulut munculnya konflik dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini adalah kondisi geografis Indonesia itu sendiri yang telah menciptakan kemajemukan wilayah secara territorial dengan berbagai kepentingan sosial yang bukan saja berbeda namun juga sangat rumit. Pengaruh ini juga memunculkan berbagai idealisme kelompok, akan muncul juga sikap subjektif pada kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat dari pendangkalan pemahaman nilai-nilai keagamaan yang lebih menjurus kearah pemahaman agama yang sempit dan bersifat pragmatis, hal ini akhirnya membuat masyarakat itu akan menolak dengan sangat keras setiap pandangan atau paham yang tidak sesuai dengan ideologi mereka, yang pada akhirnya akan melakukan berbagai cara termasuk diantaranya adalah membunuh mereka-mereka yang dianggap berseberangan atau menghambat berkembangnya ideologi mereka, dan salah satu bentuk pembunuhan yang mereka lakukan adalah melalui teror bom itu.
Ke Sembilan, kepentingan yang saling tarik menarik telah terjadi di negeri kita,hal ini merupakan bentuk interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam beberapa teori cara mengatasi konflik yang terjadi adalah dengan cara menumbuhkan solidaritas individu dalam masyarakat, baik solidaritast mekanis yang di ikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang di ikat oleh saling ketergantungan diantara bagian-bagian dalam suatu sistem sosial. Namun menurut Pierre L Van den Berghe solidaritas mekanis maupun solidaritas organis sangat sulit untuk dikembangkan didalam  masyarakat yang heterogen.
Ke sepuluh, menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin dalam bukunya yang berjudul “ Cultural Sociology “ menerangkan bahwa konflik yang terjadi merupakan interaksi sosial, sama halnya dengan Kimball Young dan Raymond Wimack  dalam bukunya “ Sociology And Social Life “  menegaskan bahwa konflik merupakan bentuk perubahan sosial, namun penyebab konflik menurut  Leopold Von Wese  dan Howard Backer  dalam bukunya “ Systematic Sociology “  adalah merupakan perbedaan antar individu, perbedaan budaya , kepentingan dan perubahan sosial.

Ke sebelas, menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya “ Sosiologi  suatu  pengantar  “ menyatakan bahwa pertentangan akan membawa akibat, baik yang positif maupun yang negatif, akibat ini bergantung pada persoalan yang dipertentangkan, struktur sosial dimana pertentangan itu terjadi, serta nilai atau kepentingan kelompok didalam masyarakat yang mengalami pertentangan tersebut. Soerjono juga membagi konflik ini kedalam beberapa jenis yaitu Konflik pribadi,konflik rasial,konflik kelas/strata sosial,konflik politik dan konflik internasional. Dalam kasus teror bom yang sedang kita kaji ini rupanya kasus teror bom ini jika ditinjau berdasarkan teori Soerjono Soekanto juga dapat dikategorikan sebagai konflik politik. Alasannya yaitu seperti kita ketahui bahwa tujuan akhir dari pelaku teror ini adalah untuk merubah ideologi Negara dan menjadikan Indonesia menjadi sebuah Negara Islam dengan penegakan syariat Islam di Indonesia. Jadi hal ini juga sudah masuk ke ranah politik jika dilihat dari tujuan aksi teror tersebut.
Ke duabelas,Menurut DR Nasikun, setidaknya ada 2 macam konflik yang terjadi yaitu konflik yang bersifat ideologis dan konflik yang bersifat politis. Konflik yang bersifat idelologis adalah merupakan konflik yang terjadi antara sistem yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang ada, sedangkan konflik politik adalah konflik yan terjadi dalam hal pembagian status kekuasaan ataupun eknomi yang terbatas. Jadi jika ditinjau dari teori DR Nasikun ini jelas sekali bahwa kasus teror bom di Indonesia ini merupakan konflik ideologis dan sekaligus juga merupakan konflik politik. Dan jika disuruh memilih salah satunya maka yang lebih tepat adalah teror bom di Indonesia lebih menjurus kearah konflik ideologi. Sebab disitulah terletak akar masalahnya, sehingga dengan menghancurkan ideologi yang  picik dan pragmatis itu, maka terorisme di Indonesia tentu akan dapat dibabat habis.
Ke tigabelas, Menurut Ralf Dahrendorf sendiri sebenarnya  konflik sosial berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.
Dalam analisis Dahrendorf hal ini dapat menimbulkan suatu yang samar, dimana suatu aksi terorisme tersebut dituding bermotifkan agama, benarkah demikian? Apakah benar tujuan mereka untuk menghancurkan Negara Amerika, Australia dan Negara- Negara barat lainnya yang mereka anggap mengancam agama Islam? Hal tersebut yang menjadi pertanyaan bila dikaitkan dengan realitas sosial sekarang, sebab bisa saja ada motif- motif lain yang mengikutinya  atau motif terselubung. Motif tersebut dapat berupa motif politik ataupun motif ekonomi yang dapat mengancam struktur sosial yang ada di Indonesia.
Kami hanya berusaha untuk memaparkan saja kasus teror bom ini jika ditinjau dari sudut sosiologisnya berdasarkan teori-teori sosiologis yang diutarakan oleh para pakar di bidangnya, kini tugas kita adalah untuk memahami kasus ini secara arif dan bijak, dasar analisa sudah dipaparkan tinggal bagaimana kita menyikapinya dan berupaya untuk melakukan antisipasi agar ke depan bangsa ini bisa mengatasi teror bom sebagai salah satu bentuk konflik sosial yang telah berkembang dan boleh dikata agak sulit diberantas, namun melalui pemaparan wacana semacam ini diharapkan kesenjangan komunikasi yang terjadi selama ini antara pihak teroris yang boleh dikata sangat minim wawasannya dari sisi intelektual dapat sedikit dibuka melalui pencerahan-pencerahan semacam ini, sehingga melalui forum-forum dialog yang ada kita bisa melihat bahwa mereka bisa diajak berdialog secara intelektual dan tidak mengedepankan adu otot yang cenderung berputar putar kearah debat kusir yang memusingkan kepala , sebab hanya melalui dialog yang berdasarkan wawasan intelektual yang sebandinglah akan dapat tercapai titik temu guna memberantas aksi aksi terorisme di Indonesia khususnya teror bom yang sudah sangat meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas dan keamanan Negara kita saat ini.